MENTOK, Babelsatu.com— Pelaksanaan pemilihan suara ulang (PSU) 4 TPS di Desa Sinar Manik Kecamatan Jebus berpotensi menimbulkan konflik antarkelompok dan warga.
Salah satunya karena isu sentimen dan politisasi suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) serta kampanye hitam (black campaign) yang dimainkan pendukung paslon tertentu untuk meraup dukungan pemilih lewat penyampaian lisan dari mulut ke mulut, pesan singkat, hingga melalui status di media sosial Facebook dan WhatsApp.
Mirisnya, narasi-narasi provokatif di akun medsos yang terindikasi berisi ujaran kebencian hingga politisasi SARA dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat itu justru dilakukan oleh dai bina desa yang seharusnya menyampaikan pesan-pesan damai serta memberi kesejukan kepada masyarakat.
Alih-alih menyampaikan pesan damai dan menyejukan, 2 oknum dai desa atas nama Husin Assegaf dan Muhammad Misdi Elyumna yang notabene digaji oleh APBD justru menyebarkan isu SARA serta kampanye hitam (black campaign) melaui media sosial Facebook dan WhatsApp dan berpotensi memecah belah masyarakat serta pemeluk agama di Bangka Barat yang dapat berujung pada konflik sosial.
Ihwal penyebaran isu politisasi SARA serta kampanye hitam di media sosial ini, Misdi Elyumna menulis, “Yuk saatnya engkau getarkan & gerakan muslim Bangka Barat untuk bersatu berjuang melawan pemimpin kafir. Takbir…!!” tulis Misdi di akun Facebooknya @Muhammad Misdi Elyumna, Rabu (12/3), kendati kini status tersebut sudah dihapus yang bersangkutan.
Pada status lainnya Misdi menulis “ingat anda menyembah Alloh, sementara dia menyembah selain Alloh SWT dan dibela”.
Sementara Husin Assegaf dalam status WhatsApp menulis “ada orang katanya muslim tapi membela kafir dan totalitas dalam memenangkannya. Bahkan rela nginap di tempat PSU agar sodara muslim diarahkan dalam pemilihannya. Na’udzubillah”.
Menyikapi beredarnya konten terindikasi berisi ujaran kebencian, menimbulkan keresahan, provokatif dan politisasi SARA tersebut, Ketua Presidium Pembentukan Kabupaten Bangka Barat, H Amit sangat menyesalkan dan meminta ada penegakan aturan dari aparat penegak hukum.
“Misdi ini orang yang tidak punya pekerjaan. Kalau Husin Assegaf ini ceramah keliling dia. Tapi kalau dia membawa isu agama ke politik, ya gak boleh begitu dong. Kita sangat-sangat menyayangkan hal yang begini. Pilkada Bangka Barat ini kan sudah berjalan, dan masyarakat seluruhnya tahu siapa yang menang. Tapi karena ada putusan MK soal PSU di 4 TPS itu jadi harus kita ikuti. Tidak boleh ada ruang politisasi SARA,” kata H Amit di Mentok, Kamis (13/3).
Menurut H Amit, isu politisasi SARA dan kampanye hitam sangat berbahaya dan karena itu tidak bisa dibiarkan.
Dia berharap aparat penegak hukum terutama kepolisian bergerak cepat menindaklanjuti narasi provokatif berbau SARA seperti ini.
“Kita di Bangka Barat ini kan daerah yang damai, sejuk selama ini. Polisi tidak boleh diam karena ini bisa menimbulkan masalah,” tegas H Amit.
Meskipun isu politisasi SARA disebarkan oleh oknum yang diduga dari tim paslon 01, namun H Amit yakin masyarakat Bangka Barat tidak akan sedikitpun terpengaruh bahkan sebaliknya warga jadi tidak simpatik terhadap paslon yang diduga didukung oknum penyebar isu SARA tersebut.
“Saya yakin masyarakat kita termasuk warga Sinar Manik tidak akan terpengaruh. Sampai sebegitunya bawa-bawa isu agama ke politik. Tidak boleh begitu karena bisa memecah belah warga. Masyarakat sudah tahulah mana yang terbaik untuk pimpin Bangka Barat 5 tahun ke depan, dan itu sudah dipilih tanggal 27 November dan menang, kan begitu,” pungkas H Amit.
Ancaman Penjara 6 Tahun Denda Rp 1 Miliar
Untuk diketahui, merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada sejumlah hal yang dilarang dilakukan dalam pemilihan umum termasuk Pilkada. Salah satunya menghina suku, agama, ras, antargolongan (SARA) paslon lain.
Menurut Pasal 280 ayat (1) poin c dan poin d UU Pemilu, salah satu hal yang dilarang dilakukan yakni menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain termasuk menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Pelanggaran terhadap larangan tersebut di atas merupakan tindak pidana pemilu sehingga bisa diproses hukum dan dipenjara.
Tak hanya itu. Pelaku penyebar ujaran kebencian berbasis SARA melalui media elektronik termasuk perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA, maka dia berpotensi dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.