PANGKALPINANG, Babelsatu.com – Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD Tahun 2025, Presiden RI Prabowo Subianto menginginkan efesiensi anggaran sekitar Rp306,6 triliun.
Pemangkasan anggran ini menyasar berbagai sektorseperti pendidikan dan kesehatan.
Akademisi Institut Pahlawan 12, Bambang Ari Satria menilai mengoptimalkan efisiensi anggaran birokrasi adalah tantangan yang kompleks.
“Tetapi sangat penting untuk pembangunan dan pelayanan publik yang berkualitas.
Yang harus dilakukan adalah lembaga birokrasi mesti mampu beradaptasi terkait efisiensi anggaran tersebut dengan tetap menjaga kualitas pelayanan publik berjalan dengan baik,” ujar Bambang, Rabu (19/2/2024).
Solusi untuk menangani tantangan tersebut adalah meningkatkan transparansi, perencanaan anggaran jangka panjang, evaluasi program dan kebijakan serta reformasi birokrasi.
“Solusi ini akan memungkinkan pemerintah dan organisasi sektor publik untuk mengoptimalkan efisiensi anggaran, mengurangi pemborosan dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat,’katanya.
Birokrasi sektor publik memiliki prinsip bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pengguna layanan dengan tanpa memperhitungkan berapa besar keuntungan yang diperoleh dari aktivitas yang dilakukan.
Menurutnya managemen anggaran memegang peran penting dalam mengarahkan dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki pemerintah.
“Suksesnya pengelolaan anggaran sangat berpengaruh pada efisiensi yang dimaknai sebagai capaian output yang maksimal dengan input yang telah ditentukan untuk mencapai target tertentu.
Dalam konteks ketidakstabilan ekonomi, perubahan dalam anggaran dapat menciptakan tantangan signifikan dalam perencanaan dan implementasi program-program birokrasi,” lanjutnya.
Di dalam lingkungan birokrasi, ketidakpastian dalam hal anggaran dapat menjadi hambatan untuk mencapai efisiensi secara optimal.
Dampak yang muncul terkait dengan kesulitan dalam merencanakan penggunaan anggaran secara efektif terutama ketika terdapat ketidakpastian mengenai besaran dana yang akan dialokasikan.
“Dalam lingkup birokrasi, kebijakan yang tidak efektif dapat mencakup berbagai aspek, termasuk perencanaan anggaran hingga pelaksanaan program dan proyek.
Salah satu konsekuensi yang sangat nyata adalah bahwa kebijakan yang tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan realitas masyarakat dapat menghasilkan alokasi dana yang tidak efisien.
Dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau mendukung inisiatif yang lebih penting dapat terbuang dengan percuma karena kurangnya kebijakan yang memadai,” katanya.
*Anggaran Pendidikan Dapat Pengaruhi Kualitas SDM*
Ketua Dewan Pendidikan, Prof Bustami Rahman menanggapi soal pemangkasan anggaran di bidang pendidikan usai terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen),mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp8,03 triliun.
Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) (Kemenag) sebesar Rp22,54 triliun dan Kementerian Agama sebesar Rp14,28 Triliun.
Pasalnya pemangkasan anggaran di bidang pendidikan dinilai dapat mempengaruhi sumberdaya manusia (SDM).
“Kita menganggap pendidikan ini sangat signifikan untuk perkembangan sumberdaya manusia, memang makan minum itu pokok, tetapi dalam proses pengembangan masyarakat dan kita harus bersaing dengan dunia, pendidikan sangat relevan untuk didukung,” ujar Prof Bustami.
Dia menilai bidang pendidikan tidak layak untuk menjadi objek pemangkasan anggaran yang utama.
“Bidang pendidikan jangan sampai, kalau bidang lain oke misalnya bersifat fisikal, kalau bersifat SDM sangat besar pengaruhnya,” katanya.
Ada beberapa dampak yang berpotensi terjadi karena pemangkasan di bidang pendidikan seperti kualitas pendidikan, kesejahteraan pengajar dan kesulitan akses ke sekolah.
“Kita mencari dana sulit untuk pendidikan, jangan sampai di dunia pendidikan itu saran kita sih, apalagi infrastruktur juga perlu diperhatikan, jalan ke sekolah, masih ada yang sulit, itu perlu kita pikirkan,”katanya.
Prof Bustami menilai program makan bergizi gratis dalam penyalurannya bisa diefektifkan lagi sehingga tidak memangkas anggaran dari bidang lainnya.
“Kita tidak bisa simultan dalam pemberian MBG ke semua berdasarkan populasi, tapi berdasarkan area, misalnya cari area yang rawan pangan, bisa lihat data, kalau cuma wilayah tidak banyak, tetapi kalau seluruh Indonesia tentu banyak,” katanya.
Menurutnya program makan gratis yang digaungkan pemerintah adalah program yang baik namun perlu ditelaah kembali, agar tidak berdampak kepada hal lainnya.
“Itu program yang bagus, negara lain juga mengadakan, tetapi bagaimana strategi lah agar dana kita cukup dan tahun kita tahun per tahun, ada solusi lain lah intinya yang tidak menghilangkan makna dari MBG,” katanya. (nita)