Buka Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa, Wapres Minta Ulama Istiqomah Jaga Umat dan Bangsa

BANGKA  BELITUNG, Babelsatu.com – Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin hari ini, Rabu (29/05/2024), membuka secara resmi Ijtima’ Ulama ke-8 Komisi Fatwa se-Indonesia yang digelar di Pesantren Bahrul Ulum Sungai Liat, Provinsi Bangka Belitung (Babel).

Dalam pidatonya, Wapres meminta para ulama, khususnya ulama fatwa agar terus konsisten (istiqomah) menebarkan kebaikan untuk menjaga umat, bangsa, dan negara. Menurutnya, menjaga konsistensi di jalan yang lurus dan moderat dalam berdakwah amat sulit karena penuh tantangan dan perjuangan.

Bacaan Lainnya

“Yang penting itu buat kita, istiqomah, konsisten menyampaikan. Ini ternyata, konsisten itu bukan barang gampang. Sulit jalan di tengah, di garis mustaqim, itu tidak mudah, kalau tidak [belok] ke kiri, ke kanan,” tegasnya.

Selain itu, Wapres juga berpesan bahwa dalam menyampaikan pandangan-pandangan tentang masalah kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan, para ulama harus penuh dengan kesabaran dan tidak mudah putus asa.

“Jangan kita berputus asa karena belum ada yang dilaksanakan, belum diterima [oleh masyarakat]. Dan jangan nyesek, jangan kita kemudian, kadang-kadang merasa hatinya itu susah. Meskipun sebagai manusia, tentu kita akan merasakan itu,” tuturnya.

Menurut Wapres, bahkan Rasulullah sendiri pernah merasa sedih saat berdakwah, karena banyak masyarakat Arab saat itu belum mau beriman. Sehingga, Rasul pun sampai mendapatkan teguran dari Allah SWT.

“Boleh jadi kamu merasakan hancur akibat kesedihan karena orang Makkah itu tidak beriman [kata Allah]. Jadi, Rasulullah itu merasa hatinya hancur. Kok belum ada orang yang beriman,” ungkap Wapres.

“Nah, kata Allah, jangan sedih. Kalau saya mau, saya bisa turunkan dari langit mukjizat yang membuat tengkuk mereka itu tunduk. Saya tundukan semua, bisa,” imbuhnya.

Tetapi, lanjut Wapres, Allah SWT tidak menginginkan itu. Dia menginginkan bahwa keimanan seseorang tidak boleh dipaksakan. Allah menginginkan manusia datang kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan kecintaan kepada Tuhannya.

“Apakah kamu mau memaksa orang, suruh beriman semua, kata Allah jangan, iman tidak boleh dipaksa. Allah tidak mau memaksa. Allah bisa [membuat manusia] seperti malaikat semua. Malaikat itu beriman semua, taat semua, malaikat tidak pernah ada yang maksiat kepada Allah,” terang Wapres.

“Di dalam masalah memilih jalan hidup, Allah tidak memaksa, supaya manusia dalam memilih beriman itu dengan ikhtiar. Supaya apa? Supaya manusia datang kepada Allah, kepada Tuhan-Nya, dengan ketaatan yang [merupakan] pilihannya sendiri. Supaya datang kepada Tuhan-Nya dengan ketaatan yang berdasarkan kecintaan,” tambahnya.

Dari penggalan kisah tersebut, tutur Wapres, dapat dipahami bahwa tugas para ulama adalah berdakwah untuk menyampaikan kebenaran. Adapun hasilnya, Allah-lah yang akan menentukan. Sehingga, apabila hasil dakwahnya belum menuai hasil maksimal, para ulama tidak boleh berputus asa apalagi lari dari tanggung jawab.

“Supaya [kita] konsisten di dalam menjalankan tugas-tugas keulamaan, jangan sampai ada ulama melepaskan diri daripada garis-garis tanggung jawab,” tegasnya.

Lebih jauh, pada kesempatan ini, Wapres mengapresiasi Ijtima’ Ulama yang tidak hanya membahas masalah keumatan dan kebangsaan pada lingkup nasional, tetapi juga membahas isu-isu global seperti masalah kemanusiaan dan perdamaian.

“Yang saya peringatkan bahwa kita punya tanggung jawab untuk menjaga negara, menjaga umat, bahkan juga menjaga kemanusiaan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh dalam laporannya menyebutkan bahwa Ijtima’ Ulama merupakan kegiatan permusyaratan lembaga fatwa se-Indonesia untuk membahas berbagai masalah strategis kebangsaan dalam perspektif keagamaan, guna meneguhkan peran sosial dalam mewujudkan kemaslahatan bangsa.

“Mengapa Ulama harus berperan dalam mewujudkan kemaslahatan bangsa ini? Karena ulama pemilik saham terbesar republik ini. Keberadaan negara dan bangsa ini adalah hasil perjuangan para ulama, hasil tetesan darah para syuhada, hasil perenungan suci, istikaharah, dan jihad para ulama,” ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Asrorun, upaya mewujudkan kemaslahatan bangsa Indonesia hari ini dan ke dapan adalah bagian dari tanggung jawab keulamaan. Sebab menurutnya, para ulama memiliki tanggung jawab dalam memberikan arah bagi perbaikan bangsa secara terus menerus, seiring dengan peran dakwah yang berkelanjutan.

“Tanpa ada jeda, walau sebentara saja, [dalam] mengawal dan menjaga agar arah bangsa sesuai dengan cita-cita para ulama, menguatkan yang sudah lurus, meluruskan yang bengkok, mengingatkan yang lupa, dan memperbaiki yang rusak,” tegasnya.

Lebih lanjut, Asrorun menyampaikan bahwa Ijtima’ Ulama digelar secara rutin setiap tiga tahunan sebagai forum untuk mudzakarah, munaharah, dan musyawarah, guna merumuskan jawaban hukum Islam atas berbagai persoalan kebangsaan.

“Forum ini digelar pertama kali di Jakarta, pada 2003, dan selanjutnya dilaksanakan setiap tiga tahunan bertempat di pesantren. Mengapa pesantren? Karena pesantren simbol pusat keilmuan dan ke-Islaman, pusat keunggulan, tetapi pada saat yang sama adalah simbol kesederhanaan, kebersamaan, dan egaliter,” terangnya. (rill/adv)

Sumber : wapresri.go.id (RN-BPMI Setwapres)

Pos terkait