Oleh : Fauzan Hakim, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung
Tahu kah kita bahwa tanggal 08 Mei 2022 kemarin adalah hari Terumbu Karang dan tahu kah kita bahwa sebelum pemerintah melalui Kementerian Kelautan Perikanan mengeluarkan segudang peraturan tentang pelarangan penangkapan ikan dengan alat tangkap dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu, merusak keberlanjutan sumber daya ikan diwilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Seperti Kapal Cantrang, Bom, Sianida serta Pukat Trawl, ternyata ada salah satu pulau yang dihuni oleh 225 Kepala Keluarga (data akhir Agustus 2022) di Provinsi Kep. Bangka Belitung telah lama menerapkan pelarangan tersebut melalui peratutan adat kampung yang diwariskan secara turun menurun dan sangat dipatuhi dan dihormati melalui adat istiadat Suku Bugis demi menjaga kelestarian lingkungan ekosistem laut berkelanjutan. Masyarakat tersebut adalah masyarakat Dusun II Pulau Gersik yang terletak di Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung Provinsi Kep. Bangka Belitung. Adat istiadat yang dijaga dan dihormati secara turun temurun sampai dengan sekarang masih dipatuhi dan telah menjadi tradisi adat dengan landasan filosofi yang sangat sederhana diterapkan oleh masyarakat Suku Bugis yang mayoritas beragama Islam dalam menjaga ekosistem terumbu karang pulau tersebut adalah “ Alquran melalui Fikiq Lingkungan “, paradigma berpikir konstruktif dengan menjadikan ajaran agama sebagai landasan. Agama memainkan peran yang sangat signifikan bagi upaya penyelamatan lingkungan, tentunya melalui penafsiran yang lebih cerdas dan terbuka bagi segenap interprestasi persoalan-persoalan baru dan teraktual.
Melalui pandangan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta dengan ketentuan-Nya menurut perhitungan yang sempurna, tidak sia-sia tanpa arah dan tujuan yang benar. . Alam adalah bagian dari kehidupan yang hidup sendiri yang senantiasa bertasbih kepada Allah dengan cara sendiri dengan batas neraca keseimbangan yang ditetapkan dan menyuruh manusia untuk menjaga (neraca keseimbangan) itu demi keseimbangan ekosistem lingkungan hidup, melalui ayat yang sering diulang-ulang dibanyak tempat di Alqur’an “ Janganlah membuat kerusakan di muka bumi, setelah ditata, perbaiki dengan suatu ukuran tertentu untuk menjaga keseimbangan itu “, menjadi kerangka pandangan Islam tentang lingkungan hidup.
Pertanyaan yang sangat sederhana…….Apa hukumnya jika kamu membuat rusak yang bukan kamu punya haknya…..???, apa kamu rasakan saat mendengar kata merusak…..??? bagaimana jika tanah, alam mu, laut mu dirusak oleh orang……??? Marah? Kesal? Benci? Bahkan mengutuk?. Begitupula dengan Allah sebagai pencipta zatnya, keserakahan dalam mengambil zat yang diciptakan yang sebagian milik orang lain, bahwa manusia yang melakukan kerusakan dimuka bumi ini secara otomatis telah mencoreng atribut manusia sebagai khalifah. (QS. Al-Baqarah 2:30) karena walaupun alam dengan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia, tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS, Al-A’raf 7:56).
Terumbu karang yang diciptakan-Nya yang mengelilingi pulau-pulau ini (Pulau Gersik) adalah harta yang diwarisan bukan untuk kita saja, melaikan untuk anak cucu kita nanti. Ini merupakan doktrin religi leluhur nenek moyang masyarakat Pulau Gersik yang masih mengakar kuat sampai dengan hari ini. Perumusan dan pengembangan sebuah fiqih lingkungan menjadi suatu pilihan urgen di tengah krisis-krisis ekologis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan tekhnologi. Dengan mayoritas pekerjaan masyarakat sebagai nelayan tradisional, masyarakat Pulau Gersik dikaruniai keahlian khusus dalam membuat kapal-kapal nelayan yang cukup handal dan terkenal dengan keunikan dan ciri khas kekuatan. Walaupun Pulau Gersik hanya seluas 2.293,61 km2 (data BPS 2021) namun urusan air besih, dengan menggali sedalam 1,5 s/d 2 meter sudah ditemukan mata air yang bisa dikonsumsi tiap-tiap kepala keluarga.
Keunikan dari adat istiadat yang menjadi pondasi moral yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat adat Suku Bugis Pulau Gersik salah satunya adalah tidak ada satupun anak laki-laki yang berumur 6 tahun yang tidak berpuasa pada bulan ramadhan, tidak berpuasa adalah suatu hal tabu bagi anak laki-laki berumur 6 tahun. Sehingga pondasi moral agama melalui adat istiadat bahwa berpuasa adalah suatu keharusan yang diwajibkan dalam agama Islam telah menjadi pondasi moral aturan, kebiasaan, norma-norma yang hidup di masyarakat serta aturan-aturan yang wajib dijalankan oleh seorang laki-laki, dengan sanksi akan diperolok oleh teman sebaya jika laki-laki tidak kuat berpuasa, mungkin karena latar belakang sebagai nelayan tradisional harus mempunyai fisik dan mental yang kuat disamping norma-norma agama yang menjadi pondasi moral yang harus dipatuhi.
Selain menjadi hukum adat dan kewajiban bersama dalam menjaga tradisi dan melestarikan lingkungan hidup, ada hal lain yang sangat unik yang menjadi aturan tidak tertulis yang masih dipatuhi serta dihormati oleh seluruh masyarakat Pulau Gersik dalam menjaga Ekosistem Sumber Daya Hayati, yaitu Terumbu Karang. Bahkan aturan ini telah menjadi simbol larangan bagi para nelayan tanpa pengecualian. Hukum Adat Pulau Gersik yang melarang para nelayan baik masyarakat Pulau Gersik sendiri maupun nelayan-nelayan lain untuk menggunakan alat penerangan berupa lampu pada saat mancing dimalam hari di sekitar Pulau Gersik, apalagi menggunakan Kapal Cantrang, Bom, Sianida serta Pukat Trawl adalah perbuatan yang sangat tabu dilakukan.
Bahwa penerapan peraturan adat yang diterapkan oleh masyarakat Pulau Gersik secara turun menurun merupakan warisan dari nenek moyang sampai dengan saat ini adalah merupakan upaya masyarakat adat Pulau Gersik dalam menjaga Ekosistem Sumber Daya Alam Hayati Terumbu Karang dari kerusakan dan kegiatan memancing, menangkap ikan secara berlebihan walaupun sempat menjadi pertentangan oleh nelayan-nelayan dari pulau-pulau lain yang berada dititik terluar.
Selain itu, hukum adat sebagai hukum yang asli yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sangat mempengaruhi proses berlakunya hukum di Indonesia dan dengan keberagaman hukum adat di Indonesia sehingga dalam penerapannya secara umum akan menghadap kendala tetapi cukup efisien untuk masyarakat setempat yang memberlakukannya. Bahkan apabila dikalkulasikan lebih banyak masyarakat yang patuh dan tunduk pada hukum adat dari pada hukum negara. Cornelis van Vollenhoven sebagai ahli yang pertama kali menggagas pembagian hukum adat dengan klasifikasi 23 lingkungan adat di Nusantara, yang salah satu diantaranya disebutkan Bangka dan Belitung.
Jika sekumpulan sikap yang telah mengakar kuat dan terkondisikan secara historis terhadap hakikat hukum adat dalam masyarakat Pulau Gersik yang telah mengakar kuat berlandaskan norma agama yang menjadi pondasi moral manusia sebagai khalifah, alam sebagai ardh (tempat tinggal) serta fungsi manusia sebagai khalifah dalam memakmurkan bumi dan menjaga alam, berjalan harmonis sesuai dengan landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta Peraturan Menteri KKP No. 26 Tahun 202 tentang Pencegahan Pencemaran, Pencegahan Kerusakan, Rehabilitasi dan Peningkatan Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya, adalah kelestarian berkelanjutan dan kesejahteraan dengan menempatkan keberadaan masyarakat sebagai subjek hukum yang mempunyai hak untuk menjaga dan melestarikan sumber daya.
Maka tugas manusia sebagai khalifah tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri atau kelompok tertentu, namun ia harus bersikap untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai penakluk alam yang berprilaku sewenang-wenang karena sesungguhnya yang mampu menundukkan alam hanyalah Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan sedikitpun kecuali kemampuan yang dianugerahkan kepadanya. Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk dimuka bumi selayaknya mulai bertindak arif dan bijak dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Untuk itulah setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri, sehingga sudah sepantasnya Alqur’an dan hadist dijadikan landasan berpijak guna tercapainya kelestarian lingkungan.