“Kami sangat-sangat menolak adanya tambang laut di Beriga. Tidak. Mata pencarian kami ada disini. Kalau laut sudah rusak bagaimana kehidupan kami. Anak-anak kami mau sekolah bagaimana,” ujar Siti, yang juga merupakan isti nelayan Desa Batu Beriga.
Sementara itu Tim Pansus Beriga DPRD Provinsi Bangka Belitung, Rina Tarol menyatakan bahwa 80 persen masyarakat menolak kehadiran tambang laut di Perairan Batu Beriga.
Rina berkata kehadiran Tim Pansus sebagai wakil rakyat berharap pemerintah daerah dan PT Timah lebih care dengan kondisi masyarakat setempat.
“Tolong jangan adu dombakan masyarakat. Kasian masyarakat, dan laut yang cantik ini diobrak-abrik yang kita tambang secara bar-bar. Jangan ditambah lagi,” ujarnya.
Rina tak memungkiri jika laut tersebut tercemar limbah tambang dan sebagainya, dampaknya dipastikan masyarakat nelayan setempat akan kesulitan mencari ikan untuk kedepannya.
“Pasti akan sulit ekonomi mereka, karena selama ini ber puluh-puluh tahun kehidupan mereka untuk menyekolahkan anak mereka, buat makan dan lainnya adalah dari hasil laut,” katanya.
Hasil Pansus ke Desa Batu Beriga, kata Rina, selanjutnya akan dibawa ke kementerian. Ataupun, ia melanjutkan akan mengajak langsung masyarakat menggugat atas keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah terkait IUP yang dikeluarkan pada tahun 2011 silam.
“IUP ini dikeluarkan tidak ada masa waktunya, artinya berlaku seumur hidup. Untuk hasil pansus sesegera mungkin akan mengeluarkan rekomendasi yang diinginkan oleh masyarakat,” kata Rina.
Sementara itu salah seorang nelayan, Sayuti, mengungkapkan tak hanya nelayan setempat yang melaut di Perairan Beriga, namun juga berasal dari Kabupaten Bangka Selatan seperti nelayan Tanjung Sanggar dan Tukak. Adapun dari Kabupaten Bangka, yakni nelayan Sungailiat.
“Jadi bukan nelayan setempat saja melaut disimi, kita berbagi rezeki istilahnya disini. Seperti nelayan dari Tanjung Sangkar, Tukak, Sungailiat pun disini, Kurau, Jelutung,” katanya (naf)