Opini
Penulis : Bayu Victora
KULIAH Kerja Nyata (KKN) sering kali diromantisasi sebagai ajang pembelajaran di luar kelas yang penuh dengan pengalaman berharga dan kerja sama tim. Namun, di balik semua itu, ada dinamika hubungan antara dosen pembimbing lapangan dan mahasiswa yang tak jarang diwarnai dengan konflik dan ketegangan.
Dosen pembimbing lapangan, dengan pengalaman dan wibawanya, seringkali memandang KKN sebagai kesempatan untuk mengarahkan mahasiswa menuju penerapan ilmu di masyarakat. Namun, dalam praktiknya, arahan tersebut bisa berubah menjadi diktator kecil yang memaksakan kehendak tanpa kompromi.
Sementara mahasiswa,yang berharap mendapatkan bimbingan yang berarti, malah sering kali merasa seperti prajurit yang harus patuh tanpa pertanyaan.
Misalnya, dalam penentuan program kerja, dosen pembimbing lapangan kadang memiliki visi dan misi yang tidak sesuai dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat setempat. “Kita akan membangun perpustakaan desa,” ujar sang dosen dengan semangat. Padahal, desa tersebut mungkin lebih membutuhkan fasilitas sanitasi yang layak. Mahasiswa, yang sudah melakukan survei lapangan, mencoba mengusulkan perubahan, tapi sering kali hanya dianggap angin lalu.
Tidak hanya dalam perencanaan, konflik juga muncul dalam pelaksanaan kegiatan. Dosen pembimbing lapangan yang mengunjungi lokasi hanya sesekali, dengan mudahnya memberikan kritik dan saran yang tidak realistis. “Mengapa program ini belum selesai? Kalian kurang kerja keras,” kritiknya, tanpa memahami tantangan dan kendala yang dihadapi di lapangan. Mahasiswa, yang sudah bekerja keras di bawah terik matahari dan kadang tanpa dukungan yang memadai, hanya bisa mengelus dada.
Dan tentu saja, ada cerita klasik tentang laporan akhir. Mahasiswa yang telah menghabiskan berjam-jam menyusun laporan, berharap mendapat bimbingan dan koreksi yang konstruktif. Tapi apa yang mereka dapatkan? “Ini tidak sesuai format. Ulangi dari awal.” Tanpa penjelasan lebih lanjut, hanya mengandalkan kekuasaan yang dimilikinya sebagai dosen pembimbing.
Namun, tidak semua dosen pembimbing lapangan seperti itu. Ada juga yang benar-benar peduli dan berusaha memahami situasi serta mendukung mahasiswa dengan sepenuh hati. Sayangnya, yang negatif sering kali lebih mudah diingat daripada yang positif.
Akhirnya, KKN menjadi ajang belajar yang sesungguhnya bukan hanya tentang penerapan ilmu, tetapi juga tentang diplomasi, manajemen konflik, dan bertahan dalam situasi yang sulit. Mungkin, itulah pelajaran paling berharga yang didapatkan mahasiswa dari KKN: bagaimana menghadapi realitas dunia kerja dan berinteraksi dengan berbagai karakter manusia.
Pada akhirnya, meski penuh dengan konflik dan drama, KKN tetap menjadi bagian penting dari perjalanan akademik yang penuh warna. Harapan kita semua adalah bahwa baik dosen pembimbing lapangan maupun mahasiswa bisa saling memahami dan bekerja sama demi kebaikan bersama, bukan hanya demi angka dan formalitas (*)